Sunday 14 June 2020

APRESIASI PUISI

Karawang - Bekasi
Oleh Chairil Anwar 

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami 

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi 


Rawagede, Desember 1947. Saat itu Belanda melalukan agresi militer dan memiliki keinginan menjajah indonesia lagi. Agresi militer ini bertujuan untuk kembali merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak.

Salah satu daerah sasaran dalam aksi itu adalah Bekasi-Karawang karena saat itu sepanjang Bekasi hingga Karawang merupakan jalur logistik perkeretaapian. Daerah itu pun merupakan wilayah subur pertanian sehingga untuk mengamankan pasokan bahan pokok tentara, Belanda ingin menguasai dua daerah tersebut.

Namun pasukan TNI Divisi Siliwangi yang dipimpin Kapten Lukas Kustario pun melakukan perlawanan dengan menyerang pos-pos militer belanda. Dengan titelnya pada saat itu 'Bandit van Karawang', Lukas saat itu jadi target no 1 paling di cari oleh pasukan belanda.

Saat akan menyerang pos besar belanda yang berada di Cililitan, Lukas menggunakan Desa Rawagede, karawang sebagai tempat pemusaatan kekuatan pasukan. Namun gerakan itu terbaca oleh intelijen belanda.

Senin malam, tanggal 8 desember 1947 pasukan belanda akhirnya mengepung kampung Rawagede dan membunuh siapa pun yang keluar kampung itu.

Keesokan paginya, pasukan Belanda masuk ke kampung tersebut. Namun, Kapten Lukas rupanya sudah tak ada di tempat. Bersama pasukannya. 

Karena dongkol tak mendapat buruan, akhirnya pimpinan belanda memerintahkan penangkapan seluruh warga desa. Empat ribu warga desa terkumpul pagi itu. Mereka dipaksa bicara soal keberadaan Kapten Lukas. Semuanya tutup mulut, tak satu pun bersuara.

Selasa, 9 Desember 1957,  diperintahkan tembak mati seluruh laki-laki kampung tersebut.

Pristiwa diatas adalah inspirasi untuk puisi "Karawang-Bekasi" ciptaan Chairil Anwar. Mereka, orang tua, anak-anak muda menutup mulut, rela mati di bantai pasukan belanda demi kemerdekaan dan menjaga pimipinan negeri.

Mereka mati, tanpa pernah lagi bisa melawan. Mereka mati tanpa pernah tau, apakah kemerdekaan akan tercapai atau tidak. Mereka tidak tau, apakah dirinya akan tinggal menjadi tulang-belulang diliputi debu, atau sebuah pengorbanan yang sepadan untuk kemerdekaan. 

Nada puisi ini seakan sedih, putus asa, dan seperti bingung mempertanyakan "kami ini apa?"

Pemilihan diksinya juga banyak yang menarik seperti:

"Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi"
Di sini para pahlawan yang di makamkan sepanjang jarak bekasi-karawang seakan mengatakan pada kita bahwa mereka sudah tidak dapat berteriak dan berjuang lagi. 

"Kenang, kenanglah kami" adalah sebagian ungkapan yang dituliskan oleh Chairil Anwar sebagai bentuk harapan mereka hanya ingin keberadaan mereka tidak dilupakan begitu saja sebab bagi mereka negeri ini adalah jiwanya.

Melalui puisini Chairil ingin pembacanya melanjutkan semangat perjuangan pahlawan yang telah gugur. Walau mereka mati muda tanpa perlawanan tapi jasa mereka sangat besar dalam kemerdekaan.

Puisi Chairil Anwar ini merupakan satu cara untuk mengingatkan kita terhadap segala jasa dan perjuangan yang telah dilakukan oleh para pahlawan kemerdekaan.

Menurutku puisi ini adalah salah satu puisi sosial yang terbaik. Semua terasa mantap, mulai dari cara Chairil mengambil sudut pandang hingga bagaimana penyampaian dan pemilihan katanya. Puisi ini juga mudah di mengerti tapi jauh dari kata tawar.


Tuesday 9 June 2020

#Tugasmenulis

Hujan Bulan Juni
Oleh Djoko Damono

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik 
rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak 
terucapkan
diserap akar pohon bunga itu



Puisi ini bertema tentang sebuah fenoma alam yaitu hujan di bulan juni. 

Di sini Sapardi Djoko Damono menggambarkan tentang hujan bulan juni yang sedang rindu pada pohon bunga. Seakan hujan bulan juni adalah seseorang yang sedang rindu pada seseorang lainnya yang digambarkan sebagai pohon bunga.

Hujan bulan juni di gambarkan tabah, bijak dan arif. Tabah dalam menahan rindu, bijak dalam bertindak dan arif, jadi hujan bulan juni ini paham dengan kondisi dan situasi yang membuat hujan bulan juni bertindak seperti semestinya.

Yang aku tangkap dia, hujan bulan juni berusaha menyembunyikan rindu dan mencoba menghilangkan keraguan, tapi pada akhirnya memilih untuk menyembunyikan perasaan rindunya terhadap pohon bunga. Walau tidak berhasil terucap pohon bunga ini tetap merasakan manfaat yang di berikan oleh hujan bulan juni.

Puisi ini menurutku bernada orang yang sedang mengikhlaskan, merelakan.

Diksi yang menarik dan memikat di puisi ini menurutku ada di larik terakhir puisi yaitu 

"tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak 
terucapkan
diserap akar pohon bunga itu"

Hujan bulan juni seperti akhirnya berdamai, memberikan manfaat kepada pohon bunga dan membiarkan rindunya tak terucap.

Saat aku membaca puisi ini yang terbayang saat membaca puisi ini adalah hujan menyirami pohon yang sedang kekeringan, lalu pohon itu mulai mekar dan tumbuh bunga.